Breaking News

fisologi sistem digestiv lengkap



Jenis Gerakan Fungsional pada Traktus Gastrointestinal
Terjadi dua jenis gerakan di dalam traktus gastrointestinal:
(1)   Gerakan propulsif yang menyebabkan makanan bergerak maju sepanjang saluran dengan kecepatan yang sesuai untuk membantu terjadinya pencernaan dan absorpsi, dan
(2)   Gerakan mencampur, yang menjaga agar isi usus sungguh-sungguh tercampur setiap waktu. Gerakan Propulsif—Peristaltik
Gerakan propulsif (mendorong) dasar pada traktus gastrointestinal adalah peristaltik. Suatu cincin kontraksi timbul di sekitar usus dan kemudian bergerak maju; hal ini analog dengan meletakkan jari-jari seseorang mengelilingi sebuah tabung tipis yang teregang dan kemudian
mengonstriksikan jari-jari tersebut dan menggesernya maju sepanjang tabung. Setiap bahan yang terletak di depan cincin kontraksi akan terdorong ke depan. Peristaltik merupakan sifat bawaan yang dimiliki oleh banyak saluran sinsitium otot polos; perangsangan, pada titik mana pun dalam usus dapat menyebabkan munculnya cincin kontraksi dalam otot sirkular, dan cincin ini kemudian menjalar sepanjang saluran usus. (Peristaltik juga terjadi di dalam duktus biliaris, duktus kelenjar, ureter, dan banyak saluran otot polos lain dalam
tubuh.)
Gerakan Mencampur
Gerakan mencampur berbeda pada berbagai bagian saluran pencernaan. Pada beberapa tempat, kontraksi peristaltik sendiri menyebabkan sebagian besar pencampuran. Hal ini khususnya terjadi bila gerakan maju isi usus dihambat oleh sebuah sfingter, sehingga gelombang peristaltik kemudian hanya dapat mengaduk isi usus, dan bukan mendorongnya ke depan. Pada saat lain, kontraksi konstriktif intermiten lokal terjadi setiap beberapa sentimeter dalam dinding usus. Konstriksi ini biasanya berlangsung hanya 5 sampai 30 detik;
kemudian konstriksi yang baru akan timbul pada tempat lain dalam usus, jadi proses "mencacah" dan "memotong" isi usus pertama kali di sini dan kemudian di tempat lain.         
Pencernaan Makanan
a.       Mastikasi (Mengunyah)
Gigi sudah dirancang dengan sangat tepat untuk mengunyah. Gigi geligi anterior (insisivi) bekerja sebagai pemotong yang kuat dan gigi geligi posterior (molar) bekerja untuk menggiling. Semua otot rahang yang bekerja bersama-sama dapat menghasilkan
kekuatan gigit sebesar 55 pon pada insisivus dan 200 pon pada molar.
Pada umumnya otot-otot pengunyah dipersarafi oleh cabang motorik saraf kranial kelima, dan proses mengunyah dikontrol oleh nukleus dalam batang otak. Perangsangan daerah retikularis spesifik pada pusat pengecapan di batang otak akan menimbulkan gerakan mengunyah yang ritmis. Demikian pula, perangsangan area di hipotalamus, amigdala, dan bahkan di korteks serebri dekat area sensoris untuk pengecapan dan penghidu sering kali dapat menimbulkan gerakan mengunyah. Kebanyakan proses mengunyah disebabkan oleh suatu refleks mengunyah. Adanya bolus makanan di dalam mulut pada awalnya menimbulkan inhibisi refleks otot-otot pengunyahan, yang menyebabkan rahang bawah turun ke bawah. Penurunan ini kemudian menimbulkan refleks regang pada otot-otot rahang bawah yang menimbulkan kontraksi rebound. Keadaan ini secara otomatis mengangkat rahang bawah yang menimbulkan pengatupan gigi geligi, tetapi juga menekan bolus pada mukosa mulut, yang menghambat otot-otot rahang bawah sekali lagi, menyebabkan rahang bawah turun dan kembali rebound pada saat yang lain, dan ini terjadi berulang-ulang. Mengunyah penting untuk pencernaan semua makanan, tetapi terutama sekali untuk sebagian besar buah-buahan dan sayur-sayuran mentah karena mereka mempunyai membran selulosa yang tidak dapat dicerna. Membran ini melingkupi bagian- bagian zat nutrisi sehingga harus diuraikan sebelum makanan dapat dicerna. Selain itu, mengunyah akan membantu pencernaan makanan untuk alasan sederhana berikut: Enzim-enzim pencernaan hanya bekerja pada permukaan partikel makanan; sehingga, kecepatan pencernaan seluruhnya bergantung pada area permukaan total yang terpapar dengan sekresi pencernaan. Selain itu, menggiling makanan hingga menjadi partikel-partikel dengan konsistensi sangat halus akan mencegah ekskoriasi traktus gastrointestinal dan meningkatkan kemudahan pengosongan makanan dari lambung ke dalam usus halus, kemudian ke semua segmen usus berikutnya.
b.      Proses Menelan (Deglutasi)
Menelan adalah mekanisme yang kompleks, terutama karena faring membantu fungsi pernapasan dan menelan. Faring diubah hanya dalam beberapa detik menjadi traktus untuk mendorong masuk makanan. Hal yang terutama penting adalah bahwa respirasi tidak terganggu karena proses menelan. Pada umumnya, menelan dapat dibagi menjadi:
 (1) tahap volunter yang mencetuskan proses menelan,
(2) tahap faringeal yang bersifat involunter dan membantu jalannya makanan melalui faring ke dalam esofagus; dan
(3) tahap esofageal, yaitu fase involunter lain yang mengangkut makanan dari faring ke lambung.

(1)   Tahap Volunter dan Proses Menelan. Bila makanan sudah siap untuk ditelan, "secara sadar" makanan ditekan atau didorong ke arah posterior ke dalam faring oleh tekanan lidah ke atas dan ke belakang terhadap palatum. Dari sini, proses menelan menjadi seluruhnya atau hampir seluruhnya berlangsung secara otomatis dan umumnya tidak dapat dihentikan.
(2)   Tahap Faringeal dan Proses Menelan. Saat bolus makanan memasuki bagian posterior mulut dan faring, bolus merangsang daerah epitel reseptor menelan di sekeliling pintu faring, khususnya pada tiang-tiang tonsil, dan sinyal-sinyal dari sini berjalan ke batang otak untuk mencetuskan serangkaian kontraksi otot faringeal secara otomatis sebagai berikut.
a. Palatum mole tertarik ke atas untuk menutupi nares posterior, untuk mencegah refluks makanan ke rongga hidung.
b. Lipatan palatofaringeal pada setiap sisi faring tertarik ke arah medial untuk saling mendekat satu sama lain. Dengan cara ini lipatan-lipatan tersebut membentuk celah sagital yang harus dilewati oleh makanan untuk masuk ke dalam faring posterior. Celah ini melakukan kerja selektif, sehingga makanan yang telah cukup dikunyah dapat lewat dengan
mudah. Oleh karena tahap penelanan ini berlangsung kurang dari 1 detik, setiap benda besar apa pun biasanya sangat dihambat untuk lewat masuk ke esofagus.
c. Pita suara pada laring menjadi sangat berdekatan, dan laring tertarik ke atas dan anterior oleh otot-otot leher. Hal ini, digabung dengan adanya ligamen yang mencegah gerakan epiglotis ke atas, menyebabkan epiglotis bergerak ke belakang di atas pembukaan laring. Seluruh efek ini bekerja bersama mencegah masuknya makanan ke dalam hidung dan trakea. Hal yang paling penting adalah sangat berdekatannya pita suara, namun epiglotis membantu
mencegah makanan agar sejauh mungkin dari pita suara. Kerusakan pita suara atau otot-otot yang membuatnya berdekatan dapat menyebabkan strangulasi.
d. Gerakan laring ke atas juga menarik dan melebarkan pembukaan ke esofagus. Pada saat yang bersamaan, 3-4 cm di atas dinding otot esofagus, yang dinamakan sfingter esofagus atas (juga disebut sfingter faringoesofageal) berelaksasi. Dengan demikian, makanan dapat bergerak dengan mudah dan bebas dari faring posterior ke dalam esofagus bagian atas. Di antara penelanan, sfingter ini tetap berkontraksi dengan kuat, sehingga mencegah udara masuk ke esofagus selama respirasi. Gerakan laring ke atas juga mengangkat glotis keluar dari jalan utama makanan, sehingga makanan terutama hanya melewati setiap sisi epiglotis dan bukan melintas di atas permukaannya; hal ini menambah pencegahan terhadap masuknya makanan ke dalam trakea.
e. Setelah laring terangkat dan sfingter faringoesofageal mengalami relaksasi, seluruh otot dinding faring berkontraksi, mulai dari bagian superior faring, lalu menyebar ke bawah melintasi daerah faring media dan inferior, yang mendorong makanan ke dalam esofagus melalui proses peristaltik.
              Sebagai ringkasan mekanisme tahapan penelanan dari faring:
Trakea tertutup, esofagus terbuka, dan suatu gelombang peristaltik cepat dicetuskan oleh sistem saraf faring mendorong bolus makanan ke dalam esofagus bagian atas, seluruh proses terjadi dalam waktu kurang dari 2 detik. Pencetusan Saraf pada Tahap Faringeal dan Proses Menelan. Daerah taktil paling sensitif dari bagian posterior mulut dan faring untuk mengawali tahap faringeal pada proses menelan terletak pada suatu cincin yang mengelilingi pembukaan faring, dengan sensitivitas terbesar pada tiang-tiang tonsil. Sinyal dijalarkan dari daerah ini melalui bagian sensoris saraf trigeminal dan glosofaringeal ke medula oblongata, baik ke dalam atau berhubungan erat dengan traktus solitarius, yang terutama menerima semua impuls sensoris dari mulut. Tahap berikutnya proses menelan secara otomatis dicetuskan dalam urutan yang teratur oleh daerah-daerah neuron substansia retikularis medula dan bagian bawah pons. Urutan refleks penelanan ini sama dari satu penelanan ke penelanan berikutnya, dan waktu untuk seluruh siklus juga tetap sama dari satu penelanan ke penelanan berikutnya. Daerah di medula dan pons bagian bawah yang mengatur penelanan secara keseluruhan disebut pusat menelan atau deglutasi. Impuls motorik dari pusat menelan ke faring dan esofagus bagian atas yang menyebabkan penelanan dihantarkan secara berurutan oleh saraf kranial kelima, kesembilan, kesepuluh dan kedua belas, serta bahkan beberapa saraf servikal superior. Ringkasnya, tahap faringeal penelanan pada dasarnya merupakan suatu refleks. Hal ini hampir selalu diawali oleh gerakan makanan secara volunter masuk ke bagian belakang mulut, yang kemudian merangsang reseptor-reseptor sensoris.
Pengaruh Tahap Faringeal dan Proses Menelan terhadap Pernapasan.
Seluruh tahap faringeal dan proses menelan terjadi dalam waktu kurang dari 6 detik, dengan demikian mengganggu pernapasan hanya sekejap saja dalam siklus pernapasan
yang biasa. Pusat menelan secara khusus menghambat pusat pernapasan medula selama waktu ini, menghentikan pernapasan pada titik tertentu dalam siklusnya untuk memungkinkan berlangsungnya penelanan. Bahkan, ketika seseorang sedang berbicara, penelanan akan menghentikan pernapasan selama waktu yang sedemikian singkat sehingga sulit untuk diperhatikan.

(3)   Tahap Esofageal Proses Menelan.
Esofagus terutama berfungsi untuk menyalurkan makanan secara cepat dari faring ke lambung, dan gerakannya diatur secara khusus untuk fungsi tersebut. Normalnya, esofagus memperlihatkan dua tipe gerakan peristaltik: peristaltik primer dan peristaltik sekunder. Peristaltik primer hanya merupakan kelanjutan dari gelombang peristaltik yang dimulai di faring dan menyebar ke esofagus selama tahap faringeal dari proses menelan. Gelombang ini berjalan dari faring ke lambung dalam waktu sekitar 8 sampai 10 detik. Makanan yang ditelan seseorang pada posisi tegak biasanya dihantarkan ke ujung bawah esofagus, bahkan lebih cepat daripada gelombang peristaltik itu sendiri, sekitar 5 sampai 8 detik, akibat adanya efek gravitasi tambahan yang menarik makanan ke bawah. Jika gelombang peristaltik primer gagal mendorong semua makanan yang telah masuk esofagus ke dalam lambung, terjadi gelombang peristaltik sekunder yang dihasilkan dari peregangan esofagus oleh makanan yang tertahan, gelombang ini terus berlanjut sampai semua makanan dikosongkan ke dalam lambung. Gelombang peristaltik sekunder ini sebagian dimulai oleh sirkuit saraf intrinsik dalam sistem saraf mienterikus dan sebagian oleh refleks-refleks yang dimulai pada faring lalu dihantarkan ke atas melalui serat-serat aferen vagus ke medula dan kembali lagi ke esofagus melalui serat-serat saraf aferen glosofaringeal dan vagus.
Susunan otot dinding faring dan sepertiga bagian atas esofagus adalah otot lurik. Oleh karena itu, gelombang peristaltik di daerah ini diatur oleh sinyal saraf rangka dari saraf glosofaringeal dan saraf vagus. Pada dua pertiga bagian bawah esofagus, susunan ototnya merupakan otot polos, namun bagian esofagus ini juga secara kuat diatur oleh saraf vagus yang bekerja melalui perhubungan dengan sistem saraf mienterikus esofageal.
Jika saraf vagus yang menuju esofagus dipotong, setelah beberapa hari pleksus saraf mienterikus esofagus menjadi cukup peka rangsang untuk menimbulkan gelombang peristaltik sekunder yang kuat bahkan tanpa bantuan refleks vagal. Oleh karena itu, bahkan sesudah paralisis refleks penelanan batang otak, makanan yang dimasukkan melalui selang atau dengan cara lain ke dalam esofagus tetap siap memasuki lambung.
Relaksasi Reseptif Lambung.
Bila gelombang peristaltik esofagus mendekat ke arah lambung, timbul suatu gelombang relaksasi, yang dihantarkan melalui neuron penghambat mienterikus, mendahului peristaltik. Selanjutnya, seluruh lambung dan, sampai batas tertentu, bahkan duodenum menjadi terelaksasi sewaktu gelombang ini mencapai bagian akhir esofagus dan dengan demikian mempersiapkan lebih awal untuk menerima makanan yang didorong ke esofagus selama proses menelan.
Fungsi Sfingter Esofagus Bagian Bawah (Sfingter Gastroesofageal). Pada ujung bawah esofagus, meluas ke atas sekitar 3 cm di atas perbatasan dengan lambung, otot sirkular esofagus berfungsi sebagai sfingter esofagus bawah yang lebar, atau disebut juga sfingtergastroesofageal. Normalnya, sfingter ini tetap berkonstriksi secara tonik dengan
tekanan intraluminal pada titik ini di esofagus sekitar 30 mmHg, berbeda dengan bagian tengah esofagus yang normalnya tetap berelaksasi. Sewaktu gelombang peristaltik penelanan
melewati esofagus, terdapat "relaksasi reseptif" dari sfingter esofagus bagian bawah yang mendahului gelombang peristaltik, yang mempermudah pendorongan makanan yang ditelan
ke dalam lambung.
Sekresi lambung bersifat sangat asam dan mengandung banyak enzim proteolitik. Mukosa esofagus, kecuali pada seperdelapan bagian bawah esofagus, tidak mampu berlama-lama
menahan aksi pencernaan dari sekresi lambung. Untungnya, konstriksi tonik sfingter esofagus bagian bawah membantu mencegah refluks yang bermakna dari isi lambung ke dalam esofagus kecuali pada keadaan abnormal.
Fungsi Motorik Lambung
Fungsi motorik lambung ada tiga: (1) penyimpanan sejumlah besar makanan sampai makanan dapat diproses di dalam lambung, duodenum, dan traktus intestinal bawah; (2) pencampuran makanan ini dengan sekresi dari lambung sampai membentuk suatu campuran setengah cair yang disebut kimus; dan (3) pengosongan kimus dengan lambat dari lambung ke dalam usus halus pada kecepatan yang sesuai untuk pencernaan dan absorpsi yang tepat oleh usus halus. Secara anatomis, lambung biasanya terbagi menjadi dua bagian besar: (1) korpus dan (2) antrum. Secara fisiologis, lebih tepat dibagi menjadi (1) bagian "orad", yang merupakan sekitar dua pertiga pertama korpus, dan (2) bagian "kaudad", yang merupakan sisa dari korpus ditambah antrum.
Fungsi Penyimpanan Lambung
Saat makanan masuk ke dalam lambung, makanan membentuk lingkaran konsentris makanan di bagian orad lambung, makanan yang paling baru terletak paling dekat dengan pembukaan esofagus dan makanan yang paling lama terletak paling dekat dengan dinding luar lambung. Normalnya, bila makanan meregangkan lambung, "refleks vasovagal" dari lambung ke batang otak dan kemudian kembali ke lambung akan mengurangi tonus di dalam otot dinding korpus lambung sehingga dinding menonjol keluar secara progresif, menampung jumlah makanan yang makin lama makin banyak sampai suatu batas saat lambung berelaksasi sempurna, yaitu 0,8 sampai 1,5 L. Tekanan dalam lambung tetap rendah sampai batas ini tercapai.
Pencampuran dan Propulsi Makanan dalam Lambung
Getah pencernaan lambung disekresikan oleh kelenjar gastrik, yang berada pada hampir seluruh dinding korpus lambung kecuali sepanjang garis sempit di kurvatura minor lambung.
Sekresi ini terjadi dengan segera saat berkontak dengan bagian makanan yang disimpan terletak berhadapan dengan permukaan mukosa lambung. Selama lambung berisi makanan, gelombang konstriktor peristaltik lemah, juga disebut gelombang pencampur, mulai timbul di bagian tengah sampai ke bagian yang lebih atas dinding lambung dan bergerak ke arah antrum sekitar satu kali setiap 15 sampai 20 detik.  Saat gelombang konstriktor berjalan dari korpus lambung ke dalam antrum, gelombang tersebut menjadi lebih kuat, beberapa menjadi sangat kuat dan menimbulkan cincin konstriktor yang digerakkan oleh potensial aksi peristaltik yang kuat, yang mendorong isi antrum di bawah tekanan yang semakin lama semakin tinggi ke arah pilorus. Cincin konstriktor ini juga memainkan peran penting dalam
mencampur isi lambung melalui cara berikut. Setiap kali gelombang peristaltik melewati dinding antrum bergerak ke bawah menuju pilorus, gelombang itu menembus isi makanan semakin dalam pada antrum. Tetapi pembukaan pilorus masih cukup sempit sehingga hanya beberapa mililiter atau kurang isi antrum yang dikeluarkan ke dalam duodenum pada setiap gelombang peristaltik. Demikian juga, ketika setiap gelombang peristaltik mendekati pilorus, otot pilorus itu sendiri sering berkontraksi, yang selanjutnya menghalangi pengosongan melalui pilorus. Oleh karena itu, sebagian besar isi antrum akan diperas terbalik arahnya melalui cincin peristaltik menuju korpus lambung, tidak menuju pilorus. Sehingga, gerakan cincin konstriktif peristaltik, digabung dengan kerja memeras dengan arah terbalik, disebut "retropulsi": adalah mekanisme pencampuran yang sangat penting dalam lambung.
Kimus.
 Sesudah makanan dalam lambung seluruhnya bercampur dengan sekresi lambung, hasil campuran yang berjalan ke usus disebut kimus. Derajat keenceran kimus bergantung pada jumlah relatif makanan, air, dan sekresi lambung serta pada derajat pencernaan yang telah terjadi. Ciri-ciri kimus adalah cairan keruh setengah cair atau seperti pasta.
Kontraksi Lapar.
Selain kontraksi peristaltik yang terjadi ketika makanan terdapat di dalam lambung, terdapat suatu jenis kontraksi lain yang kuat, disebut kontraksi lapar, sering terjadi bila lambung telah kosong selama beberapa jam atau lebih. Kontraksi ini adalah kontraksi peristaltik yang ritmis di dalam korpus lambung, Ketika kontraksi berturutan tersebut menjadi sangat kuat, kontraksi-kontraksi ini akan menimbulkan kontraksi tetanik yang kontinu yang kadang berlangsung selama 2-3 menit. Kontraksi lapar terjadi paling kuat pada orang muda, sehat
yang memiliki derajat tonus gastrointestinal yang tinggi; kontraksi juga dapat sangat meningkat jika orang tersebut memiliki kadar gula darah yang lebih rendah dari normal. Bila kontraksi lapar terjadi di dalam lambung, orang kadang akan mengalami sensasi nyeri ringan pada bagian bawah lambung, disebut hunger pangs (rasa nyeri mendadak waktu lapar). Hunger pangs biasanya tidak terjadi sampai 12 hingga 24 jam sesudah masuknya makanan
yang terakhir; pada kondisi kelaparan, hunger pangs mencapai intensitas terbesar dalam waktu 3 sampai 4 hari, dan melemah secara bertahap pada hari-hari berikutnya.
Pengosongan Lambung
Pengosongan lambung ditimbulkan oleh kontraksi peristaltik yang kuat di dalam antrum lambung. Pada saat yang sama, pengosongan dilawan oleh berbagai tingkat resistansi terhadap berlalunya kimus di pilorus.
Kontraksi Peristaltik Antrum yang Kuat Selama Pengosongan Lambung—"Pompa Pilorus".
Pada umumnya, kontraksi-kontraksi ritmis lambung bersifat lemah dan terutama berfungsi untuk menyebabkan pencampuran makanan dan sekresi lambung. Akan tetapi, sekitar 20 persen dari seluruh waktu ketika makanan berada dalam lambung, kontraksi menjadi kuat, bermula pada bagian pertengahan lambung dan menyebar melalui bagian kaudal lambung, kontraksi ini adalah peristaltik yang kuat, sangat ketat seperti kontraksi cincin sehingga dapat menyebabkan pengosongan lambung. Saat lambung secara progresif menjadi semakin kosong, konstriksi ini mulai makin menjauh dalam korpus lambung, secara berangsur-angsur
menje-pit makanan pada korpus lambung dan menambahkan makanan pada kimus di dalam antrum. Kontraksi peristaltik yang kuat ini sering menimbulkan tekanan air 50 sampai 70 cm,
yang kirakira enam kali lebih kuat dari jenis gelombang peristaltik pencampuran yang biasa.
Bila tonus pilorus normal, setiap gelombang peristaltik yang kuat akan mendorong beberapa mililiter kimus ke dalam duodenum. Jadi, gelombang peristaltik, selain menyebabkan pencampuran di dalam lambung, juga menyediakan kerja pemompaan yang disebut "pompa pilorus"
Peranan Pilorus dalam Mengontrol Pengosongan Lambung.
Pembukaan bagian distal lambung adalah pilorus. Di sini ketebalan dinding otot sirkular menjadi 50 sampai 100 persen lebih besar daripada bagian awal antrum lambung, dan
secara tonik tetap berkontraksi secara ringan hampir sepanjang waktu. Oleh karena itu, otot sirkular pilorus disebut sfingter pilorus. Walaupun terdapat kontraksi tonik sfingter pilorus yang normal, pilorus biasanya cukup terbuka bagi air dan cairan lain untuk dikosongkan dari lambung ke dalam duodenum dengan mudah. Sebaliknya, konstriksi biasanya mencegah pasase (lewatnya) partikel makanan hingga partikel tersebut telah tercampur dalam kimus sehingga memiliki konsistensi hampir cair. Derajat konstriksi pilorus ditingkatkan atau diturunkan di bawah pengaruh sinyal refleks saraf dan humoral dari lambung dan duodenum, seperti yang akan didiskusikan secara singkat.
Pengaturan Pengosongan Lambung
Kecepatan pengosongan lambung diatur oleh sinyal dari lambung dan duodenum. Akan tetapi, duodenum memberi sinyal yang lebih kuat, mengontrol pengosongan kimus ke dalam duodenum pada kecepatan yang tidak melebihi kecepatan kimus dicerna dan diabsorbsi dalam usus halus.
Faktor-Faktor Lambung yang Mendorong Pengosongan Efek Volume Makanan pada Lambung terhadap Kecepatan Pengosongan.
Peningkatan volume makanan dalam lambung menimbulkan peningkatan pengosongan lambung. Namun, peningkatan pengosongan ini tidak terjadi seperti yang diperkirakan orang. Bukanlah peningkatan tekanan makanan yang disimpan dalam lambung yang menyebabkan peningkatan pengosongan, karena dalam kisaran volume normal biasa, peningkatan volume tidak cukup meningkatkan tekanan. Sebaliknya, peregangan dinding lambung ternyata menghasilkan refleks- refleks mienterik setempat dalam dinding yang sangat memperkuat aktivitas pompa pilorus, dan pada saat bersamaan menghambat pilorus.
Faktor-Faktor Duodenum yang Kuat Menghambat Pengosongan Lambung Pengaruh Penghambatan oleh Refleks-RefleksSaraf Enterogastrik dari Duodenum.
Saat makanan masuk ke dalam duodenum, berbagai refleks saraf timbul dari dinding duodenum. Mereka kembali melewati lambung untuk melambatkan atau bahkan menghentikan pengosongan lambung jika volume kimus di dalam duodenum menjadi terlalu banyak. Refleks-refleks ini diperantara oleh tiga jalur: (1) langsung dari duodenum ke lambung melalui sistem saraf enterik pada dinding lambung, (2) melalui saraf-saraf ekstrinsik yang berjalan ke ganglia simpatis prevertebra dan kemudian kembali ke lambung melalui serat-serat saraf simpatis penghambat; dan (3) mungkin lebih jauh lagi melalui nervus vagus ke batang otak, sehingga menghambat sinyal eksitatorik normal yang ditransmisikan ke lambung melalui nervus vagus. Semua refleks paralel ini mempunyai dua efek pada pengosongan lambung: Pertama, refleks paralel tersebut dengan kuat menghambat kontraksi pendorongan "pompa pilorus," dan kedua, refleks tersebut meningkatkan tonus sfingter pilorus. Jenis-jenis faktor yang terus-menerus dimonitor di dalam duodenum dan yang dapat mengawali refleks penghambatan enterogastrik adalah sebagai berikut.

1. Derajat peregangan duodenum
2. Adanya iritasi dengan derajat berapa pun dalam
mukosa duodenum
3. Derajat keasaman kimus duodenum
4. Derajat osmolalitas kimus
5. Adanya hasil-hasil pemecahan produk tertentu dalam kimus, terutama hasil pemecahan protein dan mungkin sedikit lemak.

Refleks-refleks penghambat enterogastrik terutama sensitif terhadap adanya zat-zat iritan dan asam di dalam kimus duodenum, dan refleks tersebut sering kali menjadi teraktivasi dengan kuat dalam waktu sesingkat 30 detik. Sebagai contoh, kapan pun pH kimus dalam duodenum turun di bawah sekitar 3,5 sampai 4; refleks sering kali menghambat pelepasan lebih lanjut isi lambung yang asam ke dalam duodenum hingga kimus duodenum dapat dinetralisasi oleh sekresi pankreas atau sekresi Iainnya. refleks-refleks penghambat enterogastrik ini; dengan memperlambat kecepatan pengosongan lambung, dipastikan terdapat cukup waktu untuk pencernaan protein yang adekuat di duodenum dan usus halus.
Akhirnya, baik cairan hipotonik maupun hipertonik (terutama hipertonik) juga menimbulkan refleks-refleks penghambat ini. Dengan demikian, mencegah aliran cairan non-isotonik yang terlalu cepat ke dalam usus halus, juga mencegah perubahan konsentrasi elektrolit yang cepat dalam cairan ekstraselular seluruh tubuh selama absorpsi isi usus.
Pengaturan Pengosongan Lambung
Pengosongan lambung hanya diatur dalam derajat sedang oleh faktor-faktor lambung seperti derajat pengisian lambung dan efek perangsangan gastrin pada peristaltik lambung. Mungkin kontrol pengosongan lambung yang lebih penting terletak pada sinyal umpan balik penghambat dari duodenum, termasuk refleks umpan balik saraf penghambat enterogastrik dan umpan balik hormonal oleh CCK. Mekanisme penghambat umpan balik ini bekerja bersama-sama memperlambat kecepatan pengosongan bila (1) kimus yang terdapat dalam usus halus sudah terlalu banyak (2) kimus bersifat terlalu asam, mengandung terlalu banyak protein atau lemak yang belum dicerna, bersifat hipotonik atau hipertonik, atau mengiritasi. Dalam keadaan ini, kecepatan pengosongan lambung dibatasi sampai sejumlah kimus dapat
diproses di dalam usus halus.
Gerakan Usus Halus
Gerakan usus halus, seperti gerakan lainnya dalam traktus gastrointestinal, dapat dibagi menjadi kontraksi pencampuran dan kontraksi propulsif. Dalam arti yang luas, pembagian ini
bersifat artifisial karena pada dasarnya semua gerakan usus halus menyebabkan paling sedikit beberapa derajat pencampuran dan propulsif. Klasifikasi umum dari proses ini adalah sebagai berikut.
Kontraksi Pencampuran (Kontraksi Segmentasi)
Bila bagian tertentu usus halus teregang oleh kimus, peregangan dinding usus menimbulkan kontraksi konsentris lokal dengan jarak interval tertentu sepanjang usus dan berlangsung sesaat dalam semenit. Kontraksi membagi usus menjadi segmen-segmen ruang yang mempunyai bentuk rantai sosis. Bila satu rangkaian kontraksi segmentasi berelaksasi, sering timbul satu rangkaian baru, tetapi kontraksi kali ini terjadi terutama pada titik baru di antara
kontraksi-kontraksi sebelumnya. Oleh karena itu, kontraksi segmentasi ini "memotong" kimus sekitar dua sampai tiga kali per menit, dengan cara ini membantu pencampuran makanan dengan sekresi usus halus.
Frekuensi maksimal kontraksi segmentasi dalam usus halus ditentukan oleh frekuensi gelombang lambat listrik dalam dinding usus. Oleh karena besar frekuensi ini normalnya tidak melebihi 12 per menit dalam duodenum dan yeyunum proksimal, frekuensi maksimum pada kontraksi segmentasi di daerah ini juga kira-kira 12 kontraksi per menit, tetapi hal ini terjadi hanya pada keadaan perangsangan yang ekstrem. Pada ileum terminalis, frekuensi maksimum biasanya delapan sampai sembilan kontraksi per menit. Kontraksi segmentasi menjadi sangat lemah bila aktivitas perangsangan sistem saraf enterik dihambat oleh obat atropin. Oleh karena itu, walaupun gelombang lambat dalam otot polos itu sendiri yang menyebabkan kontraksi segmentasi, kontraksi tersebut tidak efektif tanpa dilatar belakangi oleh perangsangan yang terutama berasal dari pleksus saraf mienterikus.
Gerakan Propulsif
Peristaltik dalam Usus Halus. Kimus didorong melalui usus halus oleh gelombang peristaltik. Ini dapat terjadi pada bagian usus halus mana pun, dan bergerak menuju anus dengan kecepatan 0,5 sampai 2,0 cm/detik, lebih cepat di usus bagian proksimal dan lebih lambat di usus bagian terminal. Gelombang peristaltik tersebut secara normal lemah dan biasanya berhenti sesudah menempuh jarak 3 sampai 5 cm, jarang lebih jauh dari 10 cm, sehingga pergerakan maju kimus sangat lambat, begitu lambatnya sehingga pergerakan neto sepanjang usus halus ratarata hanya 1 cm/menit. Ini berarti bahwa dibutuhkan waktu 3 sampai 5 jam untuk perjalanan kimus dari pilorus sampai ke katup ileosekal.
Efek Mendorong Gerakan Segmentasi.
Gerakan segmentasi, meskipun hanya berlangsung selama beberapa detik pada suatu waktu, sering juga berjalan sepanjang 1 sentimeter atau lebih ke arah anus dan pada saat itu membantu mendorong makanan menuruni usus. Perbedaan antara gerakan segmentasi dan peristaltik tidaklah sedemikian besar seperti yang dinyatakan oleh pembagiannya
menjadi dua klasifikasi ini.
Gerakan Kolon
Fungsi utama kolon adalah (1) absorpsi air dan elektrolit kimus untuk membentuk feses yang padat dan (2)penimbunan bahan feses sampai dapat dikeluarkan. Setengah bagian proksimal kolon, terutama berhubungan dengan absorpsi, dan setengah bagian distal, berhubungan dengan penyimpanan. Oleh karena tidak diperlukan pergerakan kuat dari dinding kolon untuk fungsi-fungsi ini maka pergerakan kolon secara normal lambat. Meskipun lambat, pergerakannya masih mempunyai karakteristik yang serupa dengan pengerakan usus halus dan sekali lagi dapat dibagi menjadi gerakan mencampur dan gerakan mendorong.
Gerakan Mencampur—"Haustrasi".
Melalui cara yang sama dengan terjadinya gerakan segmentasi dalam usus halus, konstriksi-konstriksi sirkular yang besar terjadi dalam usus besar. Pada setiap konstriksi ini, kira-kira 2,5 cm otot sirkular akan berkontraksi, kadang menyempitkan lumen kolon sampai hampir tersumbat. Pada saat yang sama, otot longitudinal kolon, yang terkumpul menjadi tiga pita longitudinal yang disebut taenia coli, akan berkontraksi. Kontraksi gabungan dari pita otot sirkular dan longitudinal menyebabkan bagian usus besar yang tidak terangsang menonjol ke luar memberikan bentuk serupa-kantung yang disebut haustrasi. Setiap haustrasi biasanya mencapai intensitas puncak padat dalam waktu sekitar 30 detik dan kemudian menghilang selama 60 detik berikutnya. Kadang-kadang kontraksi juga bergerak lambat menuju ke anus selama masa kontraksinya, terutama pada sekum dan kolon asenden, dan karena itu menyebabkan sejumlah kecil dorongan isi kolon ke depan. Beberapa menit kemudian, timbul kontraksi haustrae yang baru pada daerah lain yang berdekatan. Oleh karena itu, bahan feses dalam usus besar secara lambat diaduk dan diputar dengan cara yang hampir sama seperti
orang menyekop tanah. Dengan cara ini semua bahan feses secara bertahap bersentuhan dengan permukaan mukosa usus besar, dan cairan serta zat-zat terlarut secara progresif diabsorbsi hingga hanya terdapat 80 sampai 200 ml feses yang dikeluarkan setiap
hari.
Gerakan Mendorong—"Gerakan Massa."
Banyak dorongan di dalam sekum dan kolon asenden dihasilkan oleh kontraksi haustrae yang lambat tetapi berlangsung persisten, yang membutuhkan waktu 8 sampai 15 jam untuk menggerakkan kimus dari katup ileosekal melalui kolon, sementara kimusnya sendiri menjadi feses dengan karakteristik lumpur setengah padat bukan lagi setengah cair. Dari sekum sampai sigmoid, gerakan massa dapat mengambil alih peran pendorongan untuk beberapa menit dalam satu waktu. Gerakan ini biasanya hanya terjadi satu sampai tiga kali setiap
hari pada kebanyakan orang, terutama untuk kira-kira 15 menit selama jam pertama sesudah makan pagi. Gerakan massa adalah jenis peristaltik yang dimodifikasi yang ditandai oleh rangkaian peristiwa sebagai berikut: Pertama, timbul sebuah cincin konstriksi sebagai respons dari tempat yang teregang atau teriritasi di kolon, biasanya pada kolon transversum. Kemudian, dengan cepat kolon, sepanjang 20 cm atau lebih, pada bagian distal cincin konstriksi tadi akan kehilangan haustrasinya dan justru berkontraksi sebagai satu unit, mendorong maju materi feses pada segmen ini sekaligus untuk lebih menuruni kolon. Kontraksi secara progresif menimbulkan tekanan yang lebih besar selama kira-kira 30 detik, dan terjadi relaksasi selama 2 sampai 3 menit berikutnya. Lalu, timbul pengerakan massa
yang lain, kali ini mungkin berjalan lebih jauh sepanjang kolon. Satu rangkaian gerakan massa biasanya menetap selama 10 sampai 30 menit. Lalu mereda dan mungkin timbul kembali setengah hari kemudian. Bila gerakan sudah mendorong massa feses ke dalam rektum, akan timbul keinginan untuk defekasi.
Defekasi
Pada sebagian besar waktu, rektum tidak berisi feses. Hal ini sebagian adalah akibat dari kenyataan bahwa terdapat sfingter fungsional yang lemah sekitar 20 cm dari anus pada perbatasan antara kolon sigmoid dan rektum. Di sini terdapat juga sebuah sudut tajam yang menambah resistansi terhadap pengisian rektum. Bila gerakan massa mendorong feses masuk ke dalam rektum, segera timbul keinginan untuk defekasi, termasuk refleks kontraksi rektum dan relaksasi sfingter anus. Pendorongan massa feses yang terus-menerus melalui anus dicegah oleh konstriksi tonik dari (1) sfingter ani internus, penebalan otot polos sirkular sepanjang beberapa sentimeter yang terletak tepat di sebelah dalam anus, dan (2) sfingter ani eksternus, yang terdiri atas otot lurik volunter yang mengelilingi sfingter internus dan meluas ke sebelah distal. Sfingter eksternus diatur oleh serat-serat saraf dalam nervus pudendus, yang merupakan bagian sistem saraf somatis dan karena itu di bawah pengaruh volunter, dalam keadaan sadar atau setidaknya dalam bawah sadar; secara bawah sadar, sfingter eksternal biasanya secara terus-menerus mengalami konstriksi kecuali bila ada impuls kesadaran yang menghambat konstriksi.
Refleks Defekasi.
Biasanya, defekasi ditimbulkan oleh refleks defekasi. Satu dari refleks-refleks ini adalah refleks intrinsik yang diperantarai oleh sistem saraf enterik setempat di dalam dinding rektum. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Bila feses memasuki rektum, distensi dinding rektum menimbulkan sinyal-sinyal aferen yang menyebar melalui pleksus mienterikus untuk menimbulkan gelombang peristalik di dalam kolon desenden, sigmoid, dan rektum, mendorong feses ke arah anus. Pada saat gelombang peristaltik mendekati anus, sfingter ani internus relaksasi oleh sinyal-sinyal penghambat dari pleksus mienterikus; jika sfingter ani eksternus juga secara sadar, dan volunter berelaksasi pada waktu yang bersamaan, terjadilah defekasi. Refleks defekasi mienterik intrinsik yang berfungsi dengan
sendirinya secara normal bersifat relatif lemah. Agar menjadi efektif dalam menimbulkan defekasi, refleks biasanya harus diperkuat oleh refleks defekasi jenis lain, suatu refleks defekasi parasimpatis yang melibatkan segmen sakral medula spinalis. Bila ujung-ujung saraf dalam rektum dirangsang, sinyal-sinyal dihantarkan pertama ke dalam medula spinalis dan kemudian secara refleks kembali ke kolon desenden, sigmoid, rektum, dan anus melalui serat-serat saraf parasimpatis dalam nervus pelvikus. Sinyal-sinyal parasimpatis ini sangat memperkuat gelombang peristaltik dan juga merelaksasikan sfingter ani internus, dengan demikian mengubah refleks defekasi mienterik intrinsik dari suatu usaha yang lemah menjadi suatu proses defekasi yang kuat, yang kadang efektif dalam mengosongkan usus besar sepanjang jalan dari fleksura splenikus kolon sampai ke anus. Sinyal-sinyal defekasi yang masuk ke medula spinalis menimbulkan efek-efek lain, seperti mengambil napas dalam, penutupan glotis, dan kontraksi otot-otot dinding abdomen untuk mendorong isi feses dari kolon ke bawah dan pada saat yang bersamaan menyebabkan dasar pelvis mengalami relaksasi ke bawah dan menarik keluar cincin anus untuk mengeluarkan
feses. Bila keadaan memungkinkan untuk defekasi, refleks defekasi secara sadar dapat diaktifkan dengan mengambil napas dalam untuk menggerakkan diafragma turun ke bawah dan kemudian mengontraksikan otot-otot abdomen untuk meningkatkan tekanan dalam abdomen, jadi mendorong isi feses ke dalam rektum untuk menimbulkan refleks-refleks yang baru. Refleks-refleks yang ditimbulkan dengan cara ini hampir tidak seefektif seperti refleks yang timbul secara alamiah, karena alasan inilah orang yang terlalu sering menghambat refleks alamiahnya cenderung mengalami konstipasi berat. Pada bayi baru lahir dan pada beberapa orang dengan medula spinalis yang dipotong, refleks defekasi secara otomatis menyebabkan pengosongan usus bagian bawah pada saat yang tidak tepat sepanjang hari karena tidak adanya pengontrolan secara sadar melalui kontraksi atau relaksasi volunter sfingter ani eksternus.
sumber:
(1)1.   Hall JE. Guyton dan Hall Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 12th ed. 2011.


No comments